Ketika kecil, aku dilekatkan sebagai anak dari ayahku.
Putri dari sebuah fam atau klan keluarga tertentu.
Tentu saja, dalam tutur dan sikap, aku harus patuh dan tunduk pada aturan ayah, kakek dan paman-pamanku.
Hey, itu aku! Apakah kamu juga
begitu? Siapa kamu?
Ketika remaja,
yang aku tau aku harus menjaga tubuhku. Aku harus menutupnya agar tidak menjadi
sumber aib bagi keluargaku, bagi lingkunganku.
Tutur kataku
harus manis tapi tidak boleh merayu.
Kalau ingin
merajuk, pastikan itu tidak menimbulkan syahwat lawan jenisku. Bahkan jika yang
kau maksud lawan jenis adalah ayahku sendiri, saudara-saudara kandungku, paman
dan kakekku.
Hey, itu aku!
Apakah kamu juga begitu? Siapa kamu?
Ketika dewasa,
aku harus segera meninggalkan keluargaku.
Jika tidak,
tentu keluargaku akan malu karena aku akan dianggap tidak laku.
Entahlah, aku
juga tidak tau, apa yang sebenarnya sedang diperdagangkan? Kebebasanku? Tapi
apakah aku benar-benar mendapatkannya sejak dulu? Atau itu sebenernya hanya
anganku?
Hey, itu aku!
Apakah kamu juga begitu? Siapa kamu?
Ketika menjadi
istri, aku akan dipanggil nyonya A, bukan namaku.
Ketika menjadi
ibu, aku akan dipanggil ibunya B, bukan namaku.
Siapa aku?
Apakah aku
memang tidak perlu bernama sejak dulu?
Hey,
itu aku! Apakah kamu juga begitu? Siapa kamu?
Aku
Perempuan!
Selalu saja dianggap tidak bisa menjadi nomor satu, padahal aku mampu.
Selalu
dirasakan perlu diwakili, padahal itu tidak perlu.
Selalu saja begitu!
Padahal suaraku
lantang Ketika berseru!
Aku juga mampu
menyokong kamu, iyaa kamu.
Akupun bisa
menjadi apa saja yang aku mau, andai aku tidak diburu.
Diburu waktu,
massa dan terutama juga kamu.
Hey, wahai
aku-aku yang lain disana selain aku, mari kita Bersatu.
Kita bergandeng
tangan dan bahu membahu untuk masa depan yang lebih baik bagi kita, Perempuan.
Karena aku,
kamu, kita adalah Perempuan dan kita harus berdaya bukan menjadi bayangan dan
kelabu.